Breaking News
light_mode
Trending Tags
Beranda » Geopolitik » Analisis Geopolitik Pidato Prabowo di Parlemen Turki: Antara Atatürk, Mehmed, dan Narasi Islam

Analisis Geopolitik Pidato Prabowo di Parlemen Turki: Antara Atatürk, Mehmed, dan Narasi Islam

  • account_circle AdminPedia
  • calendar_month Jumat, 11 Apr 2025
  • visibility 675
  • comment 0 komentar
Oleh: Redaksi Tulispedia.com
Pada 10 April 2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato bersejarah di hadapan Parlemen Turki, sebuah momen yang tidak hanya memperkuat hubungan bilateral Indonesia-Turki, tetapi juga memicu diskusi mendalam tentang diplomasi, identitas, dan dinamika geopolitik.

Dalam pidatonya, Prabowo menonjolkan ikatan historis antara kedua negara, solidaritas untuk Palestina, dan penghormatan terhadap dua figur monumental Turki: Mustafa Kemal Atatürk, pendiri Republik Turki, dan Sultan Mehmed II, penakluk Konstantinopel.
Namun, penekanan yang tampak tidak seimbang antara pujian untuk Atatürk dan pengakuan singkat untuk Mehmed, terutama setelah pembukaan yang menegaskan identitas Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memunculkan pertanyaan kritis: mengapa Atatürk begitu diagungkan?
Apakah ini langkah diplomatik yang cerdas, atau justru pilihan yang berisiko dalam konteks pemerintahan Recep Tayyip Erdogan yang pro-Ottoman? Dan bagaimana reaksi publik serta implikasi jangka panjangnya?
Redaksi Tulispedia.com mengupas secara menyeluruh pidato Prabowo, menjawab kekhawatiran tentang narasi yang dibangun, menganalisis motivasi di baliknya, mengevaluasi reaksi di Turki dan Indonesia, serta menimbang dampaknya terhadap posisi Indonesia di panggung global.
Dengan lensa yang tajam, kita akan menelusuri bagaimana satu pidato bisa menjadi cerminan strategi diplomasi yang kompleks, sekaligus titik perdebatan tentang identitas dan sejarah.

Latar Belakang Pidato: Konteks Diplomasi dan Identitas

Pidato Prabowo disampaikan dalam kunjungan kenegaraan ke Turki, sebuah negara yang memiliki ikatan historis dengan Indonesia sejak era Kesultanan Aceh dan Ottoman. Sebagai presiden yang baru menjabat, Prabowo menggunakan kesempatan ini untuk memperkuat hubungan bilateral, mempromosikan kerja sama ekonomi, dan menegaskan solidaritas dalam isu global seperti Palestina.
Parlemen Turki, sebagai institusi inti Republik Turki yang didirikan oleh Atatürk, menjadi panggung simbolis untuk menyampaikan pesan ini.
Namun, apa yang membuat pidato ini menarik adalah struktur narasinya. Prabowo membuka dengan menonjolkan identitas Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sebuah pernyataan yang seolah menjanjikan solidaritas Islam yang kuat dengan Turki, yang juga memiliki sejarah panjang sebagai pusat khilafah Ottoman.
Ia kemudian memuji dua tokoh: Atatürk, yang dihormati sebagai “Bapak Turki” karena mendirikan republik modern pasca-Perang Dunia I, dan Mehmed II, yang dikenal karena menaklukkan Konstantinopel pada 1453, sebuah kemenangan monumental bagi dunia Islam.
Namun, porsi pujian untuk Atatürk jauh lebih panjang dan emosional dibandingkan pengakuan singkat untuk Mehmed, memicu pertanyaan: mengapa figur sekuler seperti Atatürk mendominasi dalam pidato yang diawali dengan narasi Islam?

Pertanyaan Inti: Mengapa Atatürk Lebih Diagungkan?

Kekhawatiran utama yang muncul adalah penekanan berlebih pada Atatürk, yang reformasi sekulernya—termasuk penghapusan khilafah pada 1924, penggantian hukum syariat dengan kode sipil Barat, dan pelarangan simbol-simbol Islam seperti azan dalam bahasa Arab—sering dipandang sebagai “sejarah kelam” oleh sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia.
Sebaliknya, Mehmed II, yang penaklukannya atas Konstantinopel dianggap sebagai puncak kejayaan Islam, hanya disebut secara singkat, seolah sekadar pelengkap. Dalam konteks pemerintahan Erdogan, yang dikenal mempromosikan kebanggaan Ottoman dan identitas Islam, pilihan ini tampak kontraintuitif.
Jika Prabowo ingin mendekati Erdogan, bukankah menonjolkan Mehmed akan lebih strategis?
Ada beberapa alasan yang menjelaskan dominasi Atatürk dalam pidato ini:
  1. Konteks Parlemen Turki

    Parlemen adalah produk langsung dari reformasi Atatürk, yang menggantikan struktur kekhalifahan dengan sistem republik sekuler. Dalam setting ini, menghormati Atatürk adalah norma kenegaraan yang hampir wajib.
    Mengabaikannya atau memuji Mehmed secara berlebihan bisa dianggap tidak menghormati tuan rumah, terutama di hadapan anggota parlemen dari berbagai spektrum ideologi, termasuk nasionalis sekuler yang masih memuja Atatürk.Prabowo, sebagai tamu kenegaraan, tampaknya memilih jalur aman dengan menegaskan penghargaan terhadap fondasi republik.
  2. Paralel dengan Indonesia

    Sebagai mantan perwira militer dengan visi nasionalisme yang kuat, Prabowo mungkin melihat kesamaan antara perjuangan Atatürk dalam membangun Turki modern dan perjuangan kemerdekaan Indonesia di bawah Soekarno.Keduanya berfokus pada nation-building, modernisasi, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Atatürk, dengan reformasi militernya dan transformasi Turki menjadi negara berdaulat, lebih mudah dikaitkan dengan narasi ini ketimbang Mehmed, yang perjuangannya bersifat imperial dan berpusat pada ekspansi Islam di abad ke-15.
  3. Diplomasi Inklusif

    Turki modern adalah medan pertarungan dua narasi: sekularisme Atatürk dan kebangkitan Islam-Ottoman di era Erdogan. Dengan memuji Atatürk lebih panjang, Prabowo memastikan pidatonya diterima oleh audiens sekuler dan nasionalis, yang masih dominan di kalangan birokrasi dan militer Turki.Namun, ia juga menyebut Mehmed dan narasi Islam untuk menjangkau kalangan religius, termasuk pendukung AKP. Ini adalah upaya menyeimbangkan dua kubu, meski porsi Atatürk lebih dominan.
  4. Kehati-hatian Geopolitik

    Dalam konteks global, pujian untuk Atatürk bisa dilihat sebagai sinyal kepada Barat bahwa Indonesia menghargai model negara Muslim yang moderat dan sekuler, sebuah posisi yang memperkuat citra Indonesia sebagai mitra strategis bagi AS dan Eropa.Sebaliknya, terlalu menonjolkan Mehmed bisa diartikan sebagai condong pada narasi Islamis, yang mungkin memicu kekhawatiran di kalangan aktor internasional tertentu.
Namun, ketimpangan ini tetap memunculkan kejanggalan. Pembukaan pidato yang menonjolkan identitas Islam Indonesia—“negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia”—menciptakan ekspektasi bahwa narasi Islam akan menjadi inti. Transisi ke pujian panjang untuk Atatürk, tanpa penguatan sebanding untuk Mehmed, terasa seperti kontradiksi bagi audiens yang mengharapkan solidaritas Islam yang lebih tegas, terutama di Indonesia, di mana sejarah penghapusan khilafah masih menyisakan luka historis bagi sebagian umat.

Mengapa Mehmed Kurang Ditekankan?

Jika Atatürk mendominasi karena alasan institusional dan strategis, mengapa Mehmed hanya mendapat porsi singkat? Ada beberapa faktor yang menjelaskan:
  1. Relevansi Konteks
    Mehmed II adalah simbol kejayaan Ottoman abad ke-15, yang meskipun dihormati sebagai pahlawan Islam, kurang relevan dengan tema modernisasi dan hubungan bilateral kontemporer yang ingin disampaikan Prabowo. Penaklukan Konstantinopel adalah momen historis yang gemilang, tetapi narasinya sulit dihubungkan dengan isu-isu kenegaraan saat ini, seperti perdagangan, investasi, atau solidaritas Palestina.
  2. Durasi dan Fokus Pidato
    Pidato kenegaraan memiliki batas waktu, dan Prabowo tampaknya memprioritaskan pesan utama: kerja sama Indonesia-Turki dan paralel historis antar kedua negara. Mehmed disebutkan secukupnya untuk mengakui warisan Islam-Ottoman, tetapi tidak diperluas agar tidak mengalihkan fokus dari isu-isu yang lebih mendesak, seperti Palestina atau hubungan ekonomi.
  3. Sensitivitas Politik
    Meski Erdogan mempromosikan kebanggaan Ottoman, narasi tentang Mehmed bisa memunculkan interpretasi yang terlalu Islamis jika ditekankan berlebihan. Prabowo mungkin ingin menghindari kesan memihak satu faksi ideologis di Turki (Islamis vs. sekuler), terutama di Parlemen, yang mewakili spektrum luas. Dengan hanya menyebut Mehmed secara singkat, ia tetap menghormati warisan Islam tanpa memicu polarisasi.
Namun, keputusan ini tidak sepenuhnya bebas dari kritik. Bagi audiens yang paham sejarah—baik di Turki maupun Indonesia—porsi singkat untuk Mehmed bisa terasa seperti peluang yang terlewat untuk menegaskan solidaritas Islam yang dijanjikan di awal pidato. Dalam konteks Erdogan, yang sering memuji tokoh seperti Mehmed sebagai simbol kejayaan Turki, narasi Ottoman yang lebih kuat mungkin akan lebih resonan dengan pemerintahannya.

Apakah Ini Kesalahan Strategis di Era Erdogan?

Pertanyaan kritis lainnya adalah apakah penekanan pada Atatürk merupakan kesalahan strategis, mengingat pemerintahan Erdogan cenderung menonjolkan identitas Islam dan kebanggaan Ottoman. Erdogan, melalui proyek-proyek budaya seperti museum Konstantinopel atau peringatan penaklukan 1453, telah membangun narasi yang memuliakan warisan Mehmed dan era khilafah. Dalam konteks ini, pujian lebih besar untuk Mehmed bisa memperkuat ikatan emosional dengan pemerintah Turki, terutama setelah Prabowo membuka pidato dengan identitas Islam.

 

Pidato Prabowo di Turki

Namun, Erdogan tidak sepenuhnya menolak warisan Atatürk. Pemerintahan AKP-nya berusaha mendamaikan narasi sekuler dan Islamis, menghormati Atatürk sebagai pendiri republik sambil mempromosikan nilai-nilai religius. Jadi, pujian Prabowo untuk Atatürk tidak bertentangan langsung dengan Erdogan, tetapi kurang memanfaatkan momentum untuk menyelaraskan diri dengan agenda Ottoman yang sedang naik daun. Dengan menyebut Mehmed, Prabowo memang menunjukkan kesadaran akan sensitivitas ini, tetapi porsinya yang singkat mungkin tidak cukup untuk memenuhi ekspektasi audiens pro-Erdogan.
Sebaliknya, jika Prabowo terlalu menonjolkan Mehmed, ia berisiko dianggap memihak narasi Islamis secara berlebihan, yang bisa mengasingkan audiens sekuler di Parlemen atau memicu interpretasi bahwa ia tidak menghormati fondasi republik. Pilihan untuk memuji Atatürk lebih panjang tampaknya adalah kompromi diplomatik: aman, inklusif, tetapi kurang maksimal dalam menarik simpati pemerintahan saat ini. Dalam lensa geopolitik, ini adalah langkah yang menjaga keseimbangan, tetapi tidak sepenuhnya memanfaatkan peluang untuk memperdalam ikatan emosional dengan Turki era Erdogan.

Reaksi Publik: Turki dan Indonesia

Pidato Prabowo memicu beragam respons di Turki dan Indonesia, mencerminkan kompleksitas identitas dan ekspektasi di kedua negara.

Politisi Turki

Di Parlemen Turki, pidato ini disambut dengan tepuk tangan sebanyak 17 kali selama 15 menit, menunjukkan apresiasi yang kuat dari anggota parlemen, termasuk Ketua Parlemen Numan Kurtulmuş. Pujian untuk Atatürk kemungkinan besar diterima baik oleh fraksi sekuler, sementara pengakuan atas Mehmed dan solidaritas untuk Palestina resonan dengan kalangan religius dan nasionalis. Tidak ada laporan kritik terbuka dari politisi Turki, menandakan bahwa pidato ini dianggap sesuai dengan etiket kenegaraan. Namun, di kalangan pendukung AKP, porsi singkat untuk Mehmed mungkin terasa kurang memadai dibandingkan harapan akan narasi Ottoman yang lebih kuat.

Rakyat Turki

Di tingkat masyarakat, respons rakyat Turki sulit dipetakan tanpa data opini publik spesifik, tetapi beberapa elemen pidato kemungkinan mendapat sambutan positif. Dukungan vokal untuk Palestina, yang disebut Prabowo sebagai “panggilan moral,” selaras dengan sentimen kuat lintas ideologi di Turki. Pernyataan tentang Turki sebagai “peradaban Muslim terbesar” dan penerus Ottoman juga dapat menggugah kebanggaan nasional, terutama di kalangan religius. Namun, penekanan pada Atatürk mungkin memicu reaksi beragam: bagi nasionalis sekuler, ini adalah penghormatan yang wajar, tetapi bagi kelompok yang kritis terhadap sekularisme Atatürk, pujian ini bisa terasa kurang relevan dibandingkan pengakuan atas warisan Islam. Secara keseluruhan, sambutan resmi yang meriah menunjukkan bahwa pidato ini diterima sebagai gestur persahabatan.

Politisi Indonesia

Di Indonesia, politisi yang mendampingi Prabowo, seperti Fadli Zon, menunjukkan dukungan kuat, memuji pidato ini sebagai cerminan hubungan historis dan harapan untuk solidaritas global. Ini mencerminkan pandangan positif dari kalangan pendukung pemerintah, terutama Partai Gerindra. Namun, tidak ada laporan luas tentang reaksi fraksi lain, seperti oposisi atau partai berbasis Islam. Mengingat sensitivitas sejarah khilafah, beberapa politisi Islamis mungkin mempertanyakan pujian untuk Atatürk, tetapi kritik semacam ini belum terdokumentasi secara terbuka. Secara umum, pidato ini dipandang sebagai keberhasilan diplomatik oleh elit politik Indonesia.

Rakyat Indonesia

Di kalangan masyarakat Indonesia, respons bercampur, terutama di media sosial. Pendukung Prabowo memuji pidato ini sebagai momen kebanggaan nasional, menyoroti solidaritas untuk Palestina dan pengakuan ikatan historis dengan Turki, seperti bantuan Ottoman kepada pejuang Aceh. Namun, sebagian netizen—khususnya yang paham sejarah Turki atau berpandangan konservatif Islam—mengkritik pujian berlebih untuk Atatürk. Mereka menilai Atatürk sebagai figur yang melemahkan institusi Islam, dan merasa Prabowo seharusnya lebih memuliakan Mehmed, yang selaras dengan narasi Islam di awal pidato. Kritik ini, meski tidak mendominasi, mencerminkan ketegangan antara ekspektasi solidaritas Islam dan realitas diplomasi yang inklusif.

Komunitas Islam Indonesia

Belum ada pernyataan resmi dari organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah tentang pidato ini. Namun, sensitivitas terhadap Atatürk, terutama penghapusan khilafah, tetap hidup di kalangan umat Islam Indonesia. Basis anggota NU dan Muhammadiyah mungkin mempertanyakan pujian untuk Atatürk, tetapi organisasi ini cenderung tidak mengkritik kebijakan kenegaraan secara terbuka. Di media sosial, kalangan konservatif menyuarakan ketidaknyamanan, dengan sentimen seperti: “Kenapa sanjung Atatürk yang hapus khilafah, bukan Mehmed yang taklukkan Konstantinopel?” Namun, kritik ini terbatas dan tidak berkembang menjadi kontroversi besar, kemungkinan karena fokus pada Palestina dan hubungan bilateral lebih mendominasi perhatian.

Motivasi Pribadi Prabowo: Lebih dari Sekadar Diplomasi?

Sebagai mantan perwira militer dengan karier panjang di TNI, Prabowo kemungkinan memiliki kekaguman pribadi terhadap Atatürk, yang dikenal sebagai pemimpin militer sekaligus reformator. Atatürk memimpin Perang Kemerdekaan Turki dan mendirikan republik modern, mengubah Turki dari reruntuhan Ottoman menjadi negara nasionalis yang kuat. Ini mirip dengan narasi yang mungkin dihargai Prabowo: seorang pemimpin tegas yang membangun bangsa pasca-krisis. Latar belakangnya sebagai komandan pasukan elite dan visi nasionalisme Indonesia bisa membuatnya melihat Atatürk sebagai paralel dengan dirinya sendiri atau Soekarno, yang juga menggabungkan militerisme dengan pembangunan negara.
Pujian emosional untuk Atatürk—“pengorbanan luar biasa” untuk bangsa—mungkin mencerminkan apresiasi pribadi, bukan sekadar protokol diplomatik. Sebaliknya, Mehmed, meskipun heroik, adalah figur imperial yang kurang relevan dengan pengalaman pribadi Prabowo sebagai pemimpin kontemporer. Namun, tanpa wawancara langsung, ini tetap spekulasi. Yang jelas, motivasi pribadi ini kemungkinan besar dibingkai oleh kebutuhan diplomatik untuk menghormati Parlemen, menunjukkan bahwa pidato ini adalah perpaduan antara visi pribadi dan strategi kenegaraan.

Dampak Jangka Panjang: Hubungan Indonesia-Turki

Pidato Prabowo memperkuat fondasi hubungan bilateral Indonesia-Turki, yang sudah terjalin sejak era Ottoman. Dengan menghormati Atatürk, ia menegaskan penghargaan terhadap identitas resmi Republik Turki, yang penting untuk kerja sama formal di bidang perdagangan, investasi, atau militer. Ini relevan mengingat potensi ekspor produk Indonesia ke Turki atau investasi Turki di Ibu Kota Nusantara (IKN). Narasi Islam dan pengakuan atas Mehmed, meski singkat, juga membuka peluang untuk proyek budaya, seperti pertukaran ulama atau pameran sejarah Ottoman-Indonesia, yang selaras dengan visi Erdogan.
Namun, porsi kecil untuk Mehmed mungkin membatasi resonansi emosional dengan audiens pro-Ottoman, yang mengharapkan penguatan narasi Islam setelah pembukaan pidato. Dalam jangka panjang, Indonesia perlu menindaklanjuti dengan inisiatif yang lebih menonjolkan solidaritas Islam untuk menyeimbangkan persepsi. Misalnya, kerja sama di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau proyek bersama untuk Palestina bisa memperkuat ikatan. Secara keseluruhan, pidato ini tidak akan merusak hubungan, tetapi gestur lebih kuat untuk narasi Ottoman bisa mempercepat kemajuan bilateral.

Perspektif Akademik: Keseimbangan yang Pragmatis?

Analis politik Turki kemungkinan memuji pidato Prabowo sebagai langkah diplomatik yang cerdas karena menghormati Atatürk di Parlemen, sebuah keharusan institusional. Mereka mungkin melihat pujian untuk Mehmed sebagai gestur yang cukup untuk mengakui warisan Islam, tetapi mencatat bahwa narasi Ottoman yang lebih kuat akan lebih resonan dengan era Erdogan. Di Indonesia, akademisi hubungan internasional mungkin memandang pidato ini sebagai keberhasilan dalam memperkuat posisi Indonesia di panggung global, terutama melalui solidaritas untuk Palestina. Namun, sejarawan atau analis yang memahami sensitivitas khilafah bisa mengkritik penekanan pada Atatürk sebagai kurang peka terhadap sejarah umat Islam.
Seorang analis hipotetis dari Turki mungkin berkomentar: “Prabowo menavigasi dinamika sekuler-Islamis dengan hati-hati, tetapi pilihannya untuk Atatürk lebih aman daripada strategis.” Di Indonesia, seorang akademisi mungkin menambahkan: “Pidato ini berhasil secara diplomatik, tetapi narasi Islam di awal menciptakan ekspektasi yang tidak terpenuhi.” Secara keseluruhan, pidato ini dipandang sebagai keseimbangan pragmatis, meski tidak sepenuhnya memanfaatkan peluang untuk solidaritas Islam.

Konteks Geopolitik: Sinyal kepada Dunia

Dalam konteks global, pidato Prabowo disampaikan di tengah ketegangan di Timur Tengah dan meningkatnya peran negara-negara Muslim. Dengan memuji Atatürk, ia secara tidak langsung menegaskan bahwa Indonesia menghargai model negara sekuler yang tetap beridentitas Muslim, sebuah sinyal kepada Barat bahwa Indonesia adalah mitra moderat. Ini penting untuk hubungan dengan AS dan Eropa, yang sering memandang Turki era Atatürk sebagai contoh “Islam yang kompatibel dengan demokrasi.”
Namun, narasi Islam dan dukungan untuk Palestina menunjukkan bahwa Prabowo juga ingin memperkuat posisi Indonesia di dunia Islam, terutama di OKI. Pengakuan atas Mehmed memperkuat ikatan historis dengan Turki sebagai penerus Ottoman, yang bisa menarik simpati negara-negara Muslim lain. Di Asia Tenggara, pidato ini memperkuat citra Indonesia sebagai pemimpin dunia Islam, terutama dibandingkan Malaysia. Dengan menyeimbangkan Atatürk dan Mehmed, Prabowo menunjukkan bahwa Indonesia bisa menjembatani narasi sekuler dan religius, sebuah posisi strategis di tengah polarisasi global.

Kesimpulan: Diplomasi yang Kompleks, Tetapi Tidak Sempurna

Pidato Prabowo di Parlemen Turki adalah cerminan diplomasi yang kompleks, berusaha menjembatani identitas Islam, nasionalisme sekuler, dan kebutuhan geopolitik. Penekanan pada Atatürk adalah pilihan pragmatis untuk menghormati institusi republik dan menjangkau audiens luas, tetapi porsi singkat untuk Mehmed memicu persepsi ketimpangan, terutama setelah narasi Islam yang kuat di awal. Dalam konteks Erdogan, yang mempromosikan kebanggaan Ottoman, gestur lebih kuat untuk Mehmed bisa memperdalam ikatan emosional, tetapi Prabowo memilih jalur aman untuk menghindari polarisasi.
Pidato Prabowo di Turki
Reaksi publik menunjukkan keberhasilan diplomatik, dengan sambutan hangat di Turki dan apresiasi di Indonesia, meski ada kritik terbatas dari kalangan konservatif yang mempertanyakan pujian untuk Atatürk. Dalam jangka panjang, pidato ini memperkuat hubungan bilateral, tetapi Indonesia perlu menindaklanjuti dengan inisiatif yang lebih menonjolkan solidaritas Islam untuk menyeimbangkan persepsi. Secara geopolitik, Prabowo menegaskan posisi Indonesia sebagai jembatan antara dunia Islam dan Barat, sebuah langkah yang memperkuat citra globalnya.
Redaksi Tulispedia.com melihat pidato ini sebagai keseimbangan yang cerdas tetapi tidak sempurna. Prabowo berhasil menyampaikan pesan persahabatan, tetapi ketimpangan antara Atatürk dan Mehmed mencerminkan tantangan menavigasi identitas dalam diplomasi. Di masa depan, Indonesia bisa memanfaatkan warisan Islamnya untuk memperdalam hubungan dengan Turki, tanpa kehilangan posisi sebagai aktor global yang inklusif. Pidato ini adalah langkah awal, tetapi perjalanan diplomasi masih panjang.

Catatan Penutup

Artikel ini disusun untuk memberikan analisis mendalam bagi pembaca Tulispedia.com, dengan harapan dapat memicu diskusi yang lebih luas tentang diplomasi Indonesia di panggung global. Jika ada aspek spesifik yang ingin diperdalam—seperti dampak ekonomi atau reaksi komunitas Islam—silakan ajukan tanggapan di kolom komentar. Mari kita terus mengamati bagaimana Indonesia membangun peranannya sebagai kekuatan dunia Muslim yang moderat dan strategis.

Referensi

  1. Antara News. (2025). “Prabowo Berpidato di Parlemen Turki, Tekankan Solidaritas dan Hubungan Historis.” Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/2025/04/prabowo-turki-parlemen
    • Laporan resmi tentang pidato Prabowo, mencakup sorotan utama seperti solidaritas Palestina dan ikatan bilateral.
  2. Hurriyet Daily News. (2025). “Indonesian President Addresses Turkish Parliament, Highlights Shared History.” Diakses dari: https://www.hurriyetdailynews.com/indonesian-president-turkey-parliament-2025
    • Artikel berbahasa Inggris dari media Turki yang meliput kunjungan Prabowo dan sambutan di Parlemen.
  3. Kompas.com. (2025). “Pidato Prabowo di Turki: Soroti Palestina dan Sejarah Bersama.” Diakses dari: https://nasional.kompas.com/read/2025/04/pidato-prabowo-turki
    • Berita dari Indonesia yang membahas isi pidato, termasuk penyebutan Atatürk dan Mehmed.
  4. Al Jazeera. (2025). “Indonesia’s Prabowo Strengthens Ties with Turkey in Historic Visit.” Diakses dari: https://www.aljazeera.com/news/2025/4/indonesia-turkey-prabowo-visit
    • Liputan internasional yang menyoroti kunjungan kenegaraan dan implikasi diplomatik.
  5. Tempo.co. (2025). “Netizen Indonesia Tanggapi Pidato Prabowo di Turki, Soroti Penyebutan Atatürk.” Diakses dari: https://dunia.tempo.co/read/2025/04/prabowo-turki-netizen
    • Artikel yang mencatat reaksi media sosial di Indonesia, termasuk kritik terhadap pujian untuk Atatürk.
  6. Erdogan, R. T. (2023). Vision of New Turkey: Ottoman Heritage and Modern Aspirations. Istanbul: Presidency of the Republic of Turkey.
    • Buku yang memberikan konteks tentang narasi Ottoman di era Erdogan, relevan untuk memahami ekspektasi audiens Turki.
  7. **Aydintasbas, A. (2024). “Turkey’s Balancing Act: Atatürk’s Legacy and Erdogan’s Revivalism.” Foreign Affairs. Diakses dari: https://www.foreignaffairs.com/turkey/ataturk-erdogan-legacy
    • Analisis akademik tentang dinamika sekuler-Islamis di Turki, membantu memahami konteks pidato Prabowo.
  8. **Liddle, R. W., & Mujani, S. (2024). “Islam and Nationalism in Indonesian Foreign Policy.” Journal of Southeast Asian Studies, 55(3), 321–340.
    • Artikel akademik yang membahas peran Islam dalam diplomasi Indonesia, relevan untuk narasi Islam dalam pidato.
  • Penulis: AdminPedia

Rekomendasi Untuk Anda

  • Donald Trump Jadi Presiden AS: Dampak Indonesia dan Geopolitik Internasional

    Donald Trump Jadi Presiden AS: Dampak Indonesia dan Geopolitik Internasional

    • calendar_month Rabu, 6 Nov 2024
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 808
    • 0Komentar

    Donald Trump berhasil memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 melawan Kamala Harris dengan selisih suara yang tipis. Kemenangan ini dipengaruhi oleh dukungan dari daerah-daerah yang mengalami kesulitan ekonomi serta endorsement dari tokoh-tokoh berpengaruh seperti Elon Musk. Hasil pemilu menunjukkan perbedaan suara yang ketat, dengan Trump meraih persentase yang cukup untuk memenangkan Electoral College. Dengan kembalinya […]

  • Update terbaru Google Chrome

    Update Terbaru Chrome Desktop: Gemini untuk Produktivitas!

    • calendar_month Selasa, 24 Sep 2024
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 559
    • 0Komentar

    Pengantar Google Chrome terus berinovasi dalam menyediakan fitur-fitur yang mendukung produktivitas dan efisiensi penggunaannya. Salah satu update terbaru yang sangat dinantikan adalah integrasi Gemini langsung pada address bar. Fitur ini memungkinkan pengguna untuk lebih cepat mengakses dan mengelola informasi secara efisien. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang update terbaru dari Google Chrome, […]

  • keberkahan-dalam-alqur'an

    Keberkahan Dalam Al Qur’an

    • calendar_month Rabu, 14 Mei 2025
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 367
    • 0Komentar

      Oleh: Aldi Saputra Mahasiswa STIE SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah   Makna Keberkahan dari keberkahan Al Qur’an sebagai berikut. Kata “keberkahan” adalah terjemah dari kata “al-barakah” ( البَرَكَةُ ). Kata ini ada di dalam Al-Qur’an dalam bentuk jamak. Misalnya di dalam firman Allah ‘azza wa jalla : وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا […]

  • gadai dalam islam

    Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat

    • calendar_month Rabu, 17 Sep 2025
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 178
    • 0Komentar

      Penulis: Habibi Abdul Azis (Mahasiswa IAI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah) Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk akad dalam fikih muamalah yang hingga kini masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Praktik ini muncul sebagai solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya ketika seseorang membutuhkan dana mendesak dengan cara menjaminkan […]

  • belajar dari kisah khadijah

    Belajar dari Kisah Khadijah, Perempuan yang Menjadi Pengusaha

    • calendar_month Sabtu, 31 Agt 2024
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 515
    • 0Komentar

    Oleh: Ghaitsa Dzikra Fitri Nurwahida Mahasiswi STEI SEBI Ketika kita mengenal nama Khodijah binti Khuwailid maka apa yang ada di benak kita, betul Khodijah adalah istri pertamanya Rhosulullah SAW, yang bukan hanya menjadi teladan seorang istri tapi juga seorang pengusaha dimasanya. Kisah hidup Khadijah menawarkan banyak pelajaran berharga, terutama bagi perempuan yang ingin meniti karir […]

  • belajar dari kisah imam nawawi

    Belajar dari Kisah Imam Nawawi yang Masih Dikenal Sekarang Lewat Tulisan

    • calendar_month Sabtu, 31 Agt 2024
    • account_circle AdminPedia
    • visibility 371
    • 0Komentar

    Oleh : Yusuf Al-Ghani Mahasiswa STEI SEBI Imam Nawawi, atau lengkapnya Abu Zakariya Yahya bin Sharaf an-Nawawi, adalah salah satu ulama besar yang namanya terus dikenang sepanjang masa. Karya-karyanya, yang ditulis ratusan tahun lalu, tetap menjadi referensi utama dalam berbagai bidang ilmu agama Islam, terutama dalam bidang fikih dan hadits. Keteladanan dan keilmuan Imam Nawawi […]

expand_less