Gadai dalam Islam: Definisi, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat
- account_circle AdminPedia
- calendar_month Rabu, 17 Sep 2025
- visibility 178
- comment 0 komentar

Penulis: Habibi Abdul Azis
(Mahasiswa IAI SEBI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah)
Gadai (rahn) merupakan salah satu bentuk akad dalam fikih muamalah yang hingga kini masih banyak dipraktikkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun perkotaan. Praktik ini muncul sebagai solusi alternatif dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya ketika seseorang membutuhkan dana mendesak dengan cara menjaminkan barang berharga yang dimilikinya.
Dalam tradisi masyarakat, gadai dilakukan tidak hanya melalui lembaga formal seperti Pegadaian, tetapi juga secara informal antar individu dengan mekanisme yang lebih sederhana dan berdasarkan kesepakatan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa gadai memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut, berikut penjelasan selengkapnya.
Definisi Gadai
Secara bahasa, gadai atau rahn berarti menahan sebuah barang dalam jangka waktu tertentu. Dalam istilah Arab juga dikenal kata al-habsu, yang artinya menahan barang sebagai jaminan pelunasan utang. Jadi, pada dasarnya, gadai adalah praktik menahan harta sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Barang yang digadaikan ini menjadi penopang agar utang bisa terjamin.
Secara istilah, ar-rahn dimaknai sebagai menahan harta milik peminjam sebagai jaminan utang, dengan catatan barang tersebut memiliki nilai ekonomi. Dengan begitu, pihak pemberi pinjaman punya hak untuk mengambil kembali sebagian atau seluruh piutangnya melalui barang jaminan tersebut, bila peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
Para ulama fikih punya pandangan yang beragam soal definisi rahn. Ulama Mazhab Maliki menyebutnya sebagai harta yang dijadikan jaminan utang dan bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi menekankan bahwa barang jaminan itu bisa dipakai untuk melunasi utang, baik sebagian maupun seluruhnya.
Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali memandang rahn sebagai sebuah akad yang menjadikan barang sebagai agunan, yang bisa dipakai melunasi utang kalau pemiliknya tidak mampu membayar.
Dasar Hukum Gadai
-
Al-Qur’an
Hukum gadai punya landasan kuat dalam Al-Qur’an. Salah satunya ada di surat Al-Baqarah ayat 283, ketika Allah SWT berfirman:
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena siapa yang menyembunyikannya, sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)
Dari ayat ini, dijelaskan bahwa dalam kondisi tertentu misalnya saat bepergian dan tidak ada pencatat transaksi Allah SWT memperbolehkan penggunaan barang jaminan (marhun) untuk memperkuat perjanjian utang piutang. Intinya, barang jaminan hadir sebagai alat menjaga kepercayaan agar pemberi pinjaman tidak ragu dengan pihak peminjam.
-
Hadis
Selain dari Al-Qur’an, dalil tentang gadai juga ada dalam hadis. Misalnya riwayat Imam al-Bukhari nomor 2330, ketika Aisyah ra. berkata:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
Artinya: “Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi tersebut.” (HR. Bukhari, no. 2330).
Hadis ini jadi bukti bahwa transaksi gadai boleh dilakukan, bahkan dengan non-Muslim, termasuk dalam akad jual beli. Syaratnya, objek transaksi merupakan barang halal dan pihak non-Muslim tersebut bukan golongan kafir harbi (yang memerangi Islam). Sebagaimana pendapat Ibn Hajar al-‘Asqalani, selama syarat-syarat tersebut terpenuhi, akad gadai tetap sah.
Kesimpulannya, akad gadai dalam Islam hukumnya jaiz (boleh). Ulama sepakat kalau praktik ini tidak hanya berlaku saat safar, tapi juga sah dilakukan ketika menetap, sebagaimana pernah dicontohkan Nabi SAW di Madinah.
Rukun dan Syarat Gadai
Rukun Gadai
- ‘Aqid: Yaitu pihak-pihak yang berakad: rahin (orang yang menggadaikan barang) dan murtahin (pemberi pinjaman yang menerima barang gadai).
- Shighat: Ijab dan qabul yang diucapkan kedua belah pihak sebagai tanda sahnya akad.
- Marhun: Barang atau objek yang dijadikan jaminan.
Marhun bih: Utang atau sejumlah uang yang jadi dasar akad rahn, sesuai kesepakatan bersama.
Syarat Gadai
- Syarat ‘Aqid
Baik rahin maupun murtahin harus orang yang cakap hukum, yakni berakal sehat, baligh, dan mampu melakukan akad. Kalau salah satunya tidak memenuhi syarat, akad jadi tidak sah.
- Syarat Shighat
Ucapan ijab dan qabul harus jelas serta tidak boleh mengandung syarat yang merusak akad. Misalnya, syarat bahwa barang jaminan tidak boleh dijual meskipun peminjam gagal membayar utang, maka syarat itu otomatis batal.
- Syarat Marhun (barang jaminan)
- Bisa diperjualbelikan.
- Bermanfaat menurut syariat.
- Jelas dan diketahui dengan pasti.
- Milik penuh dari rahin (penggadai).
- Terpisah dari kepemilikan orang lain (tidak boleh barang bersama).
- Syarat Marhun bih (utang)
- Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada pemberi pinjaman.
- Harus bisa dilunasi melalui barang jaminan (marhun).
- Jelas dan pasti, baik zat, sifat, maupun jumlahnya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa gadai (rahn) dalam Islam bukan hanya sekadar praktik ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengandung nilai sosial. Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai definisi, dasar hukum, rukun, dan syarat gadai agar akad ini berjalan sesuai prinsip keadilan dan saling tolong-menolong.
Dengan memahami ketentuan tersebut, masyarakat dapat menjalankan praktik gadai tanpa keluar dari ketentuan syariat, sekaligus menjadikannya sebagai solusi yang aman dan bermanfaat dalam menghadapi kebutuhan finansial sehari-hari.
- Penulis: AdminPedia
